Delapan belas tahun silam. Mungkin sebentar mungkin singkat.
Anak-anak yang lahir 1997 hingga awal 1998, dan orangtuanya mengalami
sulitnya memperoleh susu formula, kini telah seusia mahasiswa.
Mei 1998 Indonesia mengalami perubahan. Prosesnya penuh gejolak bahkan disertai kerusuhan berisi angkara murka.
Indonesia menjemput tata baru dengan luka di perjalanan. Inilah ringkasannya selama Mei itu.
1 Mei:
Presiden Soeharto, melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri
Penerangan Alwi Dahlan, menyatakan reformasi bisa dilakukan lima tahun
lagi, pada 2003. Namun esoknya pernyataan itu diralat oleh Istana.
4 Mei:
Dalam deraan krisis moneter, harga BBM naik hingga 71 persen. Mahasiswa
semakin marah, lantas pecahlah tiga hari kerusuhan di Medan dengan
memakan korban sedikitnya enam warga meninggal.
7 Mei:
Terjadi bentrokan mahasiswa Universitas Jayabaya, Jakarta, dengan
aparat. Sebanyak 52 mahasiswa cedera, dua orang tertembak. Mereka
dirawat di RS Ibu Cimanggis.
8 Mei: Peristiwa Jalan
Gejayan, Yogyakarta. Dalam riuh demonstrasi seorang mahasiswa
Universitas Sanata Dharma bernama Moses Gatutkaca tewas teraniaya.
9 Mei:
Soeharto berangkat sepekan ke Mesir untuk menghadiri pertemuan KTT
G-15. Ini merupakan lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden
Indonesia.
12 Mei: Tragedi Universitas Trisakti terjadi.
Empat mahasiswa tertembak dalam demo di kampusnya: Elang Mulia Lesmana
(20), Heri Hertanto (21), Hafidin Royan (22), dan Hendriawan Sie (23).
13 Mei:
Kerusuhan di Jakarta. Ada pembakaran, perusakan, penjarahan, bahkan
kekerasan seksual, dan aneka kejahatan lain, dengan sasaran utama warga
Tionghoa. Sejumlah warga Tionghoa mengungsi keluar dari Jakarta, bahkan
ke luar negeri. Kerusuhan juga menjalar ke luar ibu kota, salah satunya
di Solo Jawa Tengah.
14 Mei: Kerusuhan meluas. Nyaris semua
kota besar di Indonesia bergejolak. Kabar Soeharto yang bersedia
mengundurkan diri jika rakyat menghendaki sudah dikutip koran. Kerusuhan
menyisakan duka, sebab ratusan warga tewas, ribuan lainnya menderita,
antara lain kehilangan nafkah.
15 Mei: Usai mengikuti G-15
Soeharto kembali ke Indonesia melalui Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma, Jakarta. Ia tiba dini hari. Jelang siang, Soeharto
menerima Wakil Presiden B.J. Habibie dan pejabat tinggi lain.
18 Mei:
Petang, Ketua MPR/DPR Harmoko di depan mahasiswa yang membanjiri Gedung
DPR berharap Soeharto berkenan mengundurkan diri secara arif dan
bijaksana. Pukul 23.00, Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus
Panglima ABRI Jenderal Wiranto menanggapi Harmoko. Menurutnya, ucapan
Harmoko tak mewakili lembaga, kemudian ia menyarankan agar dibentuk
Dewan Reformasi.
19 Mei: Pagi, Soeharto memanggil sembilan
tokoh Islam, antara lain Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Malik
Fajar, dan K.H. Ali Yafie. Pertemuan berlangsung hampir 2,5 jam -- molor
dari rencana yang hanya 30 menit. Para tokoh membeberkan situasi terakhir: elemen masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur. Soeharto menolak dan malah mengajukan pembentukan Komite Reformasi. Ia menegaskan tak mau dipilih lagi menjadi presiden.
Sementara itu Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
20 Mei: Jalan
menuju Monas diblokade aparat keamanan untuk mencegah massa masuk.
Pengerahan massa tak jadi dilakukan. Dini hari Amien Rais meminta massa
tak datang ke Monas karena ia khawatir akan terjadi pertumpahan darah
yang menelan korban jiwa. Sementara itu ribuan mahasiswa tetap
bertahan Gedung MPR/DPR. Mereka terus mendesak agar Soeharto mundur.
Dilaporkan dari Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X bergabung
bersama pengunjuk rasa.
21 Mei: Di Istana Merdeka, Kamis,
pukul 09.00, Soeharto mengumumkan pengundurkan dirinya dari jabatan
Presiden RI. Wakil Presiden B.J. Habibie menggantikannya dan jadilah
Presiden Ketiga RI.
0 komentar:
Posting Komentar